Hanun #2

Kita adalah dua raga yang begitu asing. 
Saling tatap dan berjabat tangan, namun hanyut dalam pikiran masing-masing. Entah kau sadari atau tidak, di saat itu aku mulai membubuhkan harap. Sedikit cita rasa harap pada semangkuk besar penuh sup tanda tanya hangat. Mungkin ini adalah awalan yang salah. Tidak semestinya aku mengizinkan hati untuk mengambil langkah. Tidak pada seseorang yang entah bagaimana bisa hadir dan nyaris merobohkan tembok pembatas-membuat aku goyah. "Entahlah" mungkin akan menjadi kata yang kerap kali hinggap. Sebab tanya, belum saatnya berbuah jawab.

Detak jam menjadi musik utama di tengah suara riuh rendah di sekeliling ku, juga dia-Hagia namanya. Seorang pemuda dengan setelan formal khas pegawai kantoran. Kemeja licin yang lengannya digulung sampai siku, celana dasar yang menggantung sempurna di kaki panjangnya, juga pantofel mengkilap yang melengkapi tampilannya. Sebuah kamuflase sempurna bila nyatanya dia bukanlah pegawai sebagaimana kelihatannya.


Tangan hangatnya masih berpaut dengan tanganku-menggenggam dengan begitu erat. 

Selaras dengan tatapannya yang tidak bergeser satu milipun-menatap dengan begitu lekat. 
Tak ada kata lain yang terucap setalah sesi perkenalan kita yang begitu singkat. 
Masing-masing kita memilih bisu. 

Ku kendurkan kedua sudut bibirku, menanti balas kata yang barangkali berisi maksud kedatanganmu. Makna dibalik tatapan dalam yang baru sedetik lalu kau putus. Juga tangan halus yang baru saja ditarik untuk kembali ke sisi sang pemilik. Masih dalam mode diammu, kau lirik sekilas arloji yang melingkar sempurna di lengan kirimu, lalu beralih untuk menarik bangku. Decitan bangkumu mengundang beberapa pasang mata mengerling padamu bahkan beberapa sampai mencari sumber suara dan dengan terang menatapmu. Namun kau tampak tak acuh dan memilih duduk diam di hadapanku. 


Baiklah Hagia, mangkuk besar sup tanda tanya ini sudah tidak lagi cukup. Tanda tanya yang mengembang semakin besar meluap untuk segera ditumpah dan dipertemukan dengan jawab. Sementara kau, masih terlihat enggan untuk berucap. Cukup sudah! 
Ku rasa semesta juga dibuat gemas akan bungkammu yang terlalu memakan waktu. Ku naikkan sebelah alisku, dengan harapan kau menagkap gestur dan tatapan sarat akan tanya "Ada apa?"-ku. 

Perlahan tangan semesta mulai terjulur, menggerakkanmu untuk memberikan gawaimu padaku. Masih tanpa kata, benda persegi empat itu sudah berada tepat diantara kita. Benda itu kusambut dengan ragu, setelah sebelumnya suaramu mengalun merdu, mengutarakan maksud dari tindakanmu memberiku gawaimu. Kau meminta ku mengetikkan sederet angka yang dapat menyambungkanmu padaku. 

Entah kau sadari atau tidak, gawai yang kau berikan padaku menampilkan layar hitam. Mungkin ini adalah tindakan yang lancang, aku mencoba untuk menekan satu tombol yang membuat layar gawaimu bersinar. Dan setelahnya, yang kudapati hanyalah lambang gembok pada tampilan awalnya. Gawaimu terkunci. 

Ku kembalikan benda itu pada si pemilik,

"Ponselmu terkunci" 

Si empunya gawai masih sibuk menatap arloji. Ku julurkan benda itu lebih dekat dengannya. Tatapannya beralih, menatap sekilas kearahku lalu mengambil benda persegi empat miliknya. 

"Terima kasih" ucapnya lirih, seraya meninggalkanku dengan sejuta tanya. 

***

Hagia..
Ku langitkan seutas doa mengiringi langkahmu
Sebuah asa semoga semesta menaruh restu
Pada kita... untuk kembali mengulang temu


-Flaynn-


P.S Hagia's POV :) https://anggorokusuma.wordpress.com/2019/03/21/hagia-2/

Comments

Popular posts from this blog

Biodata New Hope Club (1/3 - Reece)

Biodata New Hope Club (2/3 - George)

Biodata New Hope Club (3/3 - Blake)