Pagi itu aku dikejutkan oleh bacaan dalam beberapa rakaat yang ku dirikan. Tertegun akan makna bacaan yang bahkan sudah berulang kali ku lantunkan. Merapal kalimat yang sudah berada di luar kepala, mengalir dengan teramat lancar namun rasanya hambar. Ibadahku jauh dari kata khusuk, ampuni hamba ya Tuhan.

Pada berdiri tegap ku di atas kedua kaki yang masih kuat menopang sempurna, ku buka dengan seruan takbir untuk-Mu, di sambung doa pembuka yang meskipun telah ku ketahui maknanya, namun ku abaikan sambil lalu. Sebegitu jauhkah aku dari-Mu? Ampuni hamba ya Tuhan.

Aku sampai pada rakaat dimana aku memilih untuk membaca surah ke- 94.  Surah yang memiliki arti kelapangan, yang  hanya terdiri dari depalan ayat dan telah ku kuasai baik rangkaian huruf maupun tajwidnya. Surah itu begitu indah, namun terbacakan tanpa rasa oleh sang pendosa. Tertegun dan terdiam ku pada kedua ayat yang memiliki arti sama "Maka sesudah kesukaran itu ada kemudahan". Terulang untuk kali kedua tepat pada ayat berikutnya. "Sesudah kesukaran itu ada kemudahan".

Aku tertampar oleh keluhan-keluhan yang dengan sengaja ku lontarkan atau mengalir begitu saja karena lisan ini terbiasa untuk mengeluh. Siapa engkau wahai puan yang dengan lancangnya mengeluh bahkan menjadikan itu kebiasaan? Bahkan disaat Tuhan telah dua kali menegaskan bahwa tiap tiap kesukaran beserta kemudahan, kau tetap memilih untuk mengeluh. Sungguh, ampuni hamba ya Tuhan.

Dalam diam, sadarku di tarik kembali akan dusta yang kerap terselip pada apa yang telah ku ucap barang lima kali dalam sehari. Aku membual perihal "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah kepunyaan Allah". Aku berbohong. Nyatanya congkak masih merayapi dan memenuhi isi diri, berpikir bahwasannya aku memiliki beberapa dan masih enggan untuk melaksanakan perintah-Nya. Padahal jelas adanya, sedikitnya lima kali dalam sehari aku mengaku bahwa "aku tidak memiliki apa-apa, bahkan hidup dan mati ku adalah kepunyaan-Nya". Aku ucapkan itu berulang kali namun tanpa rasa karena tidak dari hati asalnya. Aku masih kerap berbohong karena hati ini masih bernoda sombong. Ampuni hamba ya Tuhan.

Ku resapi makna setelahnya "Dengan semua itulah aku diperintahkan dan aku adalah termasuk orang orang yang berserah diri". Berserah diri? Aku dibuat malu akan ucapanku sendiri.  Kebohongan yang terselip di sana sini karena yang mengalir dari bibir tidak di datangkan dari hati. Berserah diri... Nyatanya diri ini masih saja risau atas segala ketetapan-Nya. Ketetapan yang telah disusun oleh pembuat skenario terbaik dengan jalan cerita-Nya yang paling sempurna. Terlebih tentang masa depan yang teramat sangat mengundang risau. Berserahlah wahai diri dan jangan pernah putus memperbaiki dan memantaskan. Apa yang akan terjadi di depan, itu telah apik terencana oleh pemilik semesta.

Tersimpuhku dalam hening dan terangnya ruangan. Aku adalah sang pendosa. Yang meminta dan memohon ampunan pada sang maha punya. Mohon ampuni hamba ya Tuhan.


-Flaynn-

Comments

Popular posts from this blog

Biodata New Hope Club (1/3 - Reece)

Biodata New Hope Club (2/3 - George)

Biodata New Hope Club (3/3 - Blake)