![Image](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXvso6Sk9SPL9CZXPzS9BoI9kMFLzeeg3i2bV8Q5Cb9ITEGvwEYxKvGEmDqOYOpxnF_5GPTwfPcUmENc1EOo2s0uc0kbSzkbdXxxQ0-ZwcC5yClJg7y73mtpSfAn9LBctb_AXQJWeQh-Ya/s400/WhatsApp+Image+2019-04-16+at+14.14.11.jpeg)
Pagi itu aku dikejutkan oleh bacaan dalam beberapa rakaat yang ku dirikan. Tertegun akan makna bacaan yang bahkan sudah berulang kali ku lantunkan. Merapal kalimat yang sudah berada di luar kepala, mengalir dengan teramat lancar namun rasanya hambar. Ibadahku jauh dari kata khusuk, ampuni hamba ya Tuhan. Pada berdiri tegap ku di atas kedua kaki yang masih kuat menopang sempurna, ku buka dengan seruan takbir untuk-Mu, di sambung doa pembuka yang meskipun telah ku ketahui maknanya, namun ku abaikan sambil lalu. Sebegitu jauhkah aku dari-Mu? Ampuni hamba ya Tuhan. Aku sampai pada rakaat dimana aku memilih untuk membaca surah ke- 94. Surah yang memiliki arti kelapangan, yang hanya terdiri dari depalan ayat dan telah ku kuasai baik rangkaian huruf maupun tajwidnya. Surah itu begitu indah, namun terbacakan tanpa rasa oleh sang pendosa. Tertegun dan terdiam ku pada kedua ayat yang memiliki arti sama "Maka sesudah kesukaran itu ada kemudahan". Terulang untuk kali ...